Senin, 23 Desember 2013

Fatwa MUI tentang keharaman perayaan Natal bersama dan pengucapannya

Berikut kami sajikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya perayaan natal bersama dan pengucapannya. Kami salin fatwa ini dari situs resmi MUI (http://www.mui.or.id/b3_28.htm) namun sayangnya halaman resmi tersebut sudah tidak dapat diakses. Wallahu’alam penyebab tidak dapat diaksesnya. Berikut fatwa MUI selengkapnya:

KEPUTUSAN KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG
PERAYAAN NATAL BERSAMA DAN PENGUCAPANNYA

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah:

Memperhatikan:

Perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah artikan oleh sebagian ummat Islam dan disangka dengan ummat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.

Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal.

Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah.

Menimbang:

Ummat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang Perayaan Natal Bersama.

Ummat Islam agar tidak mencampur adukkan aqiqah dan ibadahnya dengan aqiqah dan ibadah agama lain.

Ummat Islam harus berusaha untuk menambah Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT.

Tanpa mengurangi usaha ummat Islam dalam Kerukunan Antar Ummat Beragama di Indonesia.

Meneliti kembali:

Ajaran-ajaran agama Islam, antara lain:

Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas:

Al Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan Kamu sekattan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang bertaqwa (kepada Allah), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Al Qur’an surat Luqman ayat 15:

“Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya, dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kepada-Ku lah kembalimu, maka akan Ku-berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Al Qur’an surat Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang kamu (ummat Islam) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (beragama lain) yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqiqah dan peribadatan agamanya dengan aqiqah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
Al Qur’an surat Al-Kafirun ayat 1-6:

“Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”

Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 42:

“Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk mempersatukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Kita, kemudian kepada-Kulah kembalimu, maka akan Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Bahwa ummat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan atas:

Al Qur’an surat Maryam ayat 30-32:

“Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup. (Dan Dia memerintahkan aku) berbakti kepada ibumu (Maryam) dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”

Al Qur’an surat Al Maidah ayat 75:

“Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rosul yang sesungguhnya telah lahir sebelumnya beberapa Rosul dan ibunya seorang yang sangat benar. Kedua-duanya biasa memakan makanan(sebagai manusia). Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).”

Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 285 :

“Rasul (Muhammad telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman) semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-rasulnya dan mereka mengatakan : Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa) Ampunilah Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak Isa Al Masih itu anaknya, bahwa orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas: Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakan dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab “Tidak” : Hal itu berdasarkan atas :

Al Qur’an surat Al Maidah ayat 72 :

“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata : Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam. Padahal Al Masih sendiri berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun.”

Al Qur’an surat Al Maidah ayat 73 :

“Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan : Bahwa Allah itu adalah salah satu dari yang tiga (Tuhan itu ada tiga), padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-orang kafir itu akan disentuh siksaan yang pedih.”

Al Qur’an surat At Taubah ayat 30 :

“Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nasrani berkata Al Masih itu anak Allah. Demikianlah itulah ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka bagaimana mereka sampai berpaling.”

Al Qur’an surat Al Maidah ayat 116-118 :

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Hai Isa putera Maryam adakah kamu mengatakan kepada manusia (kaummu): Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah, Isa menjawab : Maha Suci Engkau (Allah), tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya tentu Engkau telah mengetahuinya, Engkau mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu : sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu dan aku menjadi saksi terhadapa mereka selama aku berada di antara mereka. Tetapi setelah Engkau wafatkan aku, Engkau sendirilah yang menjadi pengawas mereka. Engkaulah pengawas dan saksi atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan Jika Engkau mengampunkan mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

Islam mengajarkan Bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan atas Al Qur’an surat Al Ikhlas :

“Katakanlah : Dia Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun / sesuatu pun yang setara dengan Dia.”

Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas :

Hadits Nabi dari Nu’man bin Basyir :

“Sesungguhnya apa apa yang halal itu telah jelas dan apa apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi diantara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram) kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang mengembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu hanya haram jangan didekati).”

Kaidah Ushul Fiqih

“Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan).”

Memutuskan, Memfatwakan:

Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.

Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.

Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua



(K.H. M. SYUKRI GHOZALI)


Sekretaris



(Drs. H. MAS’UDI)

*Catatan: Dalam fatwa ini, ayat-ayar Al Qur’an yang disebutkan ditulis lengkap dalam bahasa Arab.

Link asli: http://www.mui.or.id/b3_28.htm (sudah tidak dapat diakses)
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/12/22/fatwa-mui-tentang-keharaman-perayaan-natal-bersama-dan-pengucapannya.html#sthash.xEfRqyCP.dpuf

Sabtu, 18 Mei 2013

Mengubah Mental Pegawai dengan Khuruj

Adzan shalat Dhuhur berkumandang dari masjid di kantor Walikota Palopo, Sulawesi Selatan, siang itu. Hampir seluruh pegawai bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat. Sebagian pegawai pria lengkap dengan kopiahnya, sementara pegawai wanita lengkap dengan busana Muslimah.


Situasi di atas adalah pemandangan sehari-hari di kantor tersebut. Shalat berjamaah diharuskan bagi seluruh pegawai Muslim. Tak hanya itu, di kantor ini juga diwajibkan berjilbab bagi Muslimah, bisa mengaji, serta khuruj (keluar wilayah untuk berdakwah dengan waktu yang telah ditentukan). Semua itu tertuang dalam surat edaran Walikota Palopo dengan nomor 450/160/Kesra/IV/2009, perihal Peningkatan Shalat Berjamaah dan Kerjasama Dakwah dengan Jamaah Tabligh.


Tapi jangan salah, semua ini bukan paksaan. Semuanya berjalan dengan kesadaran setelah para pegawai mengikuti pesantren kilat yang diberi nama Bimbingan dan Latihan Mental Spiritual. Hasil kerjasama Pemda Palopo dan Jamaah Tabligh (JT).


Baso Sulaiman adalah orang di balik semua kegiatan ini. Lelaki yang kini menjabat sebagai Kabag Kesra Kota Palopo itu selalu melontarkan ide ini dalam setiap rapat di kalangan pejabat daerah. Beragam tanggapan miring selalu ia terima, bahkan usulan itu dianggap aneh dan mengada-ada. Tapi, Baso tak bergeming. “Padahal ini bukan kepentingan saya, ini untuk perbaikan mental pegawai,” ujarnya.


Menurut Baso, tak ada yang perlu dikhawatirkan jalinan kerjasama antara pemda dan JT. “Bagi saya, tabligh hanya salah satu metode dakwah, dan inilah cara saya untuk meningkatkan iman para pegawai,” ungkapnya singkat.


Ide untuk mengangkat program ini, bukan tanpa alasan. Saat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian (Kasubag) Organisasi Kab. Luwu (2002), Baso nampak gerah melihat banyaknya pegawai negeri sipil (PNS) yang melanggar syariat, tidak shalat, dan memiliki akhlak buruk. “Banyak PNS bermental buruk; malas, tidak disiplin, tidak jujur, hingga ada yang main judi di kantor,” kenang suami dari Siti Maemunah ini.


Baso semakin risau, ketika melihat para pegawai yang sering datang terlambat, suka berbohong dan tidak disiplin. “Bagaimana bangsa bisa berkembang, kalau mental pegawai seperti ini,” tambahnya. Sementara menurut Baso, pelatihan jenjang kepangkatan yang ada saat ini, seperti pelatihan Pra Jabatan dan Latpim, hanya berada pada tataran pengembangan kognitif, intelektual semata.


Sebenarnya, Baso bukan orang pemerintahan. Sebelum menjabat sebagai Kasubag Organisasi di Luwu, yang sekarang menjadi Kota Palopo, Baso adalah seorang guru. Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Palopo (1981) ini, awalnya mengajar sebagai tenaga honorer di SD Negeri Wawondula, Kab. Luwu.


Setahun menjadi guru honorer, barulah kemudian Baso diangkat menjadi PNS. Ia dipercaya mengajar di SMP Muhammadiyah Palopo. Berselang beberapa tahun kemudian, Baso diangkat menjadi Kepala Sekolah di sekolah tersebut. Lebih dari 20 tahun lamanya Baso mengajarkan nilai kejujuran, kedisiplinan, dan akhlakul karimah pada SMP Muhammadiyah itu.


Angin segar berhembus bagi Baso, saat otonomi daerah (2002) mulai berjalan. Ia dipindahkan ke Kantor Pemda Luwu. Di tempatnya yang baru ini, ia beri amanah sebagai Kasubag Organisasi. Begitu menjadi pejabat, Baso melihat banyak hal yang berbeda dari apa yang dulu ia ajarkan sebagai guru.


Dengan dasar itulah, Baso berpikir keras untuk mengubah mental buruk sebagian PNS yang digaji oleh negara ini. Dengan pengalaman sebagai guru, Baso juga ingin melihat nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan akhlak itu tertanam pada jiwa seluruh PNS di Palopo. Bagi alumni Magister Ilmu Administrasi pada STIA Yappan Jakarta (2006) ini, jika menginginkan masyarakat baik, maka harus dimulai dari pemerintah. “Kalau pemerintah imannya baik, masyarakat juga pasti akan baik,” ungkapnya singkat.

Khuruj sampai Bangladesh


Tahun 2003, secara diam-diam Baso mencoba untuk mengadakan training mental dan spiritual di kantornya, khusus untuk pegawai yang menjadi bawahannya. Saat itu, Baso telah menjabat sebagai Kepala Bagian Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kabag Kesbang Linmas). Dengan memanfaatkan beberapa orang PNS di bawahnya, ia kemudian berinisiatif melakukan ‘Pesantren Kilat’ sehari, materinya hanya seputar perbaikan mental pegawai.


Perlahan tapi pasti, ia terus bergerilya berdakwah di lingkup Pemda, agar semua PNS di Palopo berakhlak baik. Rencana progam ini semakin mantap, setelah Baso mengikuti khuruj tiga hari dengan JT (2005). Lulusan Universitas Cokroaminoto (1988) Palopo ini, kemudian tertarik dengan metode dakwah JT yang banyak mengajarkan seputar akidah dan akhlak.


Saat Suara Hidayatullah menjumpai Baso di kantornya, ia baru saja tiba dari ijtima (pertemuan tahunan) dunia di Serpong, Bogor, 18-20 Juli lalu. Ia aktif mengikuti khuruj tiga hari setiap bulan. Ia juga pernah mengadakan perjalanan khuruj 15 hari ke India, Pakistan dan Bangladesh (2007).


Pada 2006, Baso mengantongi izin Walikota Palopo, HPA. Tanriajeng untuk mengadakan training bimbingan mental spiritual. Maka jadilah sebuah pelatihan dan bimbingan mental spiritual yang dikemas dengan pesantren kilat selama tiga hari dengan 12 materi dari JT.


Hingga saat ini, dari sekitar 3.000-an PNS di Pemda Palopo, lebih dari 800 PNS yang telah mengikuti kegiatan tersebut. Untuk 2009 ini, kegiatan itu dibagi dalam dua angkatan, yang setiap angkatan berjumlah sekitar 100 orang.


Menariknya, sejak awal digulirkan hingga memasuki angkatan ke-4, kegiatan ini tidak menggunakan dana dari pemerintah atau dana APBD. Untuk mengikuti pelatihan tersebut, setiap pegawai dikenakan biaya Rp 50 ribu per hari. “Dana tersebut hanya utuk biaya akomodasi, konsumsi dan transport pemateri,” jelas Baso.

“Kami hanya memerlukan legitimasi dari Pemkot, tanda tangan Walikota bagi saya sudah cukup kuat untuk menjalankan kegiatan ini,” jelas ayah dari Muh. Abdi Baso, Munanjat, Adi Saputra, Ilmina, dan Hayyul Muttaqin ini.


Pelatihan tersebut, kini menjadi bagian program Pemda Palopo. Pelatihan ini wajib diikuti oleh setiap pegawai di semua jenjang. Sertifikat pelatihan ini pun menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat atau jenjang bagi PNS di kota Palopo. Selain itu, para PNS pun harus pandai mengaji dan hapal surah-surah pendek dalam al-Qur`an.

Enam tahun kegiatan ini berjalan, baru tahun 2009 ini ia begitu merasakan manfaatnya. Saat ini, sudah sulit untuk menemukan pegawai yang bolos, datang terlambat, atau hanya sekedar datang ke kantor dan kemudian pulang. “Alhamdulillah, sekarang pegawai sudah mulai disiplin, jujur, dan taat sama atasan,” jelas Baso.


Saat ini, mulai dari polisi pamong praja, sopir, guru, kepala bagian, hingga kepala dinas, serta asisten walikota wajib mengikuti kegiatan tersebut. Selanjutnya, setiap tiga hari dalam sebulan, mereka dihimbau untuk pergi khuruj ke masjid-masjid, guna mengajak masyarakat agar turut shalat berjamah di masjid.


Saat wawancara dengan Suara Hidayatullah, tiba-tiba Baso minta ijin. “Kita hentikan dulu wawancara, urusan shalat jamaah masih lebih penting,” katanya sambil menyambar peci di atas meja kerjanya. *Sarmadani/Suara Hidayatullah OKTOBER 2009


Sumber: http://majalah.hidayatullah.com/?p=610

Indahnya Mengikuti Para Shahabat RA

http://usahadawah.com Indahnya mengikuti para Shahabat RA dengan baik, karena memang para Shahabat RA sebagai contoh generasi yang telah dibina oleh Rasulullah SAW. Generasi ini telah mendapatkan Ridho Allah swt dan Rasulullah SAW. SIAPAPUN kita, DARIMANAPUN kita, APAPUN TINGKATAN kita sangat dituntut untuk dapat meniru generasi para Shahabat RA.


Para Shahabat RA tidak semua hafidz quran, tidak semua hafidz hadist ribuan, TETAPI para Shahabat RA mempunyai keinginan dan terus dipegangnya untuk Ta’at kepada Allah swt dan Rasulullah SAW.


Abu Bakar RA tidak perlu banyak Ilmu untuk MULAI BERDA’WAH, setelah masuk Islam besoknya telah mengajak 5 orang untuk masuk Islam di depan Rasulullah SAW. Ummar RA baru juga masuk Islam, tetapi sudah berani mengetuk rumah musuh Ummat Islam saat itu, yaitu Abu Jahal. Untuk memberitahukan keislamanannya.


Ali RA juga masih kecil sudah menjadi DALIL DA”WAH ketika Abu Dzar RA yang belum masuk ingin bertemu Da’wah. Begitu juga Amar Bin Yasir RA belum banyak hafalan quran dan hadist, karena memang baru masuk Islam. Telah memberikan penjelasan kepada kedua orangtuanya ketika patung sembahan orangtuanya hancur, dan MENGAJAK ISlam.


ILMU, AMAL dan DA’WAH di jaman para shahabat RA bukan dahulu ILMU ditumpuk dahulu, tetapi CUKUP dengan jelas dan yakin meskipun sedikit sekali, maka para Shahabat RA sudah bisa menerjuni apa yang dicontohkan Rasulullah SAW, mereka para shahabat RA beramal dan berda’wah. MESKIPUN baru masuk Islam dan tidak banyak Ilmunya.


Apakah kita ingin seperti para Shahabat RA yang sudah mendapatkan janji Allah swt dan Rasulullah SAW? Maka ikutilah dan tirulah para Shahabat RA sesuai dengan kemampuan kita.


Kitab Hayatush Shahabat, Maulana Yusuf Rah, ataupun kisah-kisah para Shahabat, Maulana Dzakaria Rah, yang ditulis Ulama tentunya memberikan pandangan dan pemahaman kita terhadap kehidupan Rasulullah SAW dan para Shahabat RA.


Ataupun kita membaca kitab Riyadhush Sholihin, Imam Nawawi Rah, ataupun Fadhilah Amal, Maulana Dzakaria Rah, dapat memberikan semangat dorongan untuk beramal dan berda’wah.


Tetantunya semua itu dalam rangka kita sendiri MELAKUKAN ISHLAH diri kita dan kaum muslimin di manapun berada. Dan dengan ini menjadi asbab hidayah di seluruh alam, dan boleh jadi banyak manusia lainnya masuk ke dalam agama yang mulia, Al-Islam.


Meskipun kita baru mengetahuii dan menyakininya satu ayat ataupun hadist Rasulullah SAW ataupun potongan hadist Rasulullah SAW, maka tetap kita perlu menyampaikan satu ayat, satu hadist ataupun potongan hadist itu. KARENA itulah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, (Ballighu ‘anni walau ayat) (HR Bukhari), dan itu pula dilakukan para Shahabat RA.


Maka kalau ada yang mengatakan bahwa HANYA SALAFI yang berada di jalan manhajnya para Shahabat RA, maka tentunya hal itu KELIRU BESAR. KARENA semua orang bisa mengikuti para Shahabat RA sesuai dengan kemampuan dan tingkatannya, dan kita juga bisa kalau memang kita mau untuk melakukan ISHLAH (memperbaiki diri) dan mengikuti para Shahabat RA. Insya Allah ….

Jumat, 17 Mei 2013

Novel Diponegoro part 2

Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.


Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:


Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.


Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.


Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.


Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.


Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.


Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.


Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.


Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.


“Trisat Kenya...,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.


Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.


Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.


Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.


Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.


Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.


Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja harus cantik.


“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu. “...dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”


Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur alun-alun.


Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.


Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan. Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.


Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya ketika itu.


Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.


Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.(bersambung) (eramuslim) (adnan nafisa/lasdipo.com)

Novel ”Pangeran Diponegoro” Part 1

lasdipo.com Problem klasik mengungkap kebenaran sejarah Islam di Indonesia adalah minimnya referensi tertulis dan valid. Hal ini pula yang menjadi sebab sejarah manis islam Indonesia dimanipulasi dan diamputasi demi kepentingan kaum nasionalis sekuler dan Kristen. Salah satu tokoh islam dan mujahid kenamaan adalah Pangeran Diponegoro. Meski ditulis dalam bentuk novel. Namun isi dan muatan novel ini sarat dengan makna. Disatu sisi menjadi pembelajaran sejarah, disisi lain sarat dengan ungkapan penggugah ghirah kaum muslimin tanpa melupakan seni dan kesantunan tutur cerita dalam novel. Selamat mengikuti! (adnan nafisa/lasdipo.com)
==========

Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.


Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama... []


Dengan penuh hormat dan kebanggaan,
kupersembahkan kepada anak keturunan
dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,

semoga kemuliaan perjuangan Beliau
menginspirasi hidup kita semua...


PROLOG Plered, Jawa Tengah, 1647


APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.


Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.


Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.


Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.


Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.


Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.


Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.Allahu Akbar!!!


Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ˜Topi besi panas™ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.


Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.


Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.


Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.


Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!


Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
Cepat keluar! Atau kami dobrak!
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira”adik satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun”sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.
Siapa lagi yang ada di dalam! hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian..., jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.


Dia benar. Tak ada lagi orang...


Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.


Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.


Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.


Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.


Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.


Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.


Ada apa gerangan, Nduk? bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.
Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.

Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya.


(to be continued)